Ramadhan ini sedikit berbeda dari tahun lalu. perbedaannya sangat jelas. Bahkan ketika ku mengenangnya tak mampuku menahan air mataku. ia kan mengalir lagi, lagi dan lagi hingga membawaku tertidur dalam genangannya. Gerobak itu, kamar, dapur, baju, rumah, pasar, bukit. semuanya, begitu sesak tak tertahankan. Kamar itu ketika kami bercerita tentang pengalaman rantau kami yang penjang sedikit menyita masa kecil kami. Lalu kau berkata "asekolah ko na' bare muruntui decceng'nge".
Masih ingatkah di waktu mentari mulai melemahkan cahayanya. kau datang dari balik tirai dengan karung putih di tangan kananmu. Menghampiriku dengan senyuman indahmu. Mengeluarkan belanjaan dari karung bawaanmu. Mengeluarkannya satu persatu hingga kau berkata "enggka ce'e uwelliang ko" menunjukan subuah baju kuning dengan hiasan putih yang horisontal. ku memakainya dan itu sangat indah. kau begitu senang melihatku memakainya. Apalagi itu adalah hasil dari daganganmu.
Mata ini begitu berat memandang pasar itu. Tempat yang menjadi kegiatan tawar-menawar dengan pembelimu. Kau begitu mahir dalam mempertahankan harga daganganmu. Bahkan kau tak membiaran aku untuk membantumu berjualan. Kau hanya menyuruhku untuk tetap di rumah menunggumu kembali dengan beberapa belanjaanmu.
Ringkih terkadang membuatmu merasa kesepian. Menemui bukit itu menjadi penawar bagimu. Kami pun terkadang kelikungan ketika mentari telah menepih namun kau belum saja berada disini. Hati bergetar mengerumuh, mengelegar ketakutan saat ku tak menemukanmu.
hati ini semakin mengelegar ketakutan saat melihat dirimu terbaring lemah. Sering kali memanggil namaku. Ku katakan "iye ingka ka'e ricedde'ta" memegang tanganmu mengusap rambutmu yang semakin hari semakin rontok. Tubuhmu begitu kurus bahkan kulitmu melengket ketat ditulang-tulangmu. Saat kalimat pamitanku terdengar kau memegang tanganku, menatapku dengan pandangan sedih. bibirmu bergerak cepat seakan ingin mengatakan sebuah kalimat. Namun yang ku dengar suara desahan, ku katakan "cinamppe ma". Tersenyum ku melepaskan tangannya. Impianlah yang membuatku harus meninggalkanmu.
Kini kau telah menutup mata dan tak terbangunkan lagi oleh kami.
Tak ada lagi yang membangunkan kami untuk sahur.
Tak ada lagi bunyi gerobak yang menggeletup-geletup.
Tak ada lagi senyum sambutanmu dikala kami datang.
Tak ada lagi sejadah kosong di mesjid yang sering kali kau sediakan jika kami terlambat datang karena harus memutar-mutarkan jilbab agar kelihatan tren oleh tetangga.
Jasadmu memang tiada tapi kau selalu di hati kami "INDO"
Sabtu, 27 Juli 2013
Rabu, 29 Mei 2013
Jumat, 14 Desember 2012
Ku buka pintu disaat fajar
manjelma. Kicauan merdu burung yang hinggap di ranting pohon halaman rumahku. Melantunkan
nada-nada hingga terangkai menjadi sebuah alunan musik yang begitu elok
terdengar diteliga. Embun pagi yang menyapa dedaunan kini akan pergi bersama cahaya mentari.
Meninggalkan aroma sejuk di pagi hari. Cahaya mentari begitu ramah menyapa
hingga rela menembus rimbunan dedaun pohon dihadapan rumahku.
“Pagi yang cerah untuk jiwa yang tenang”. Kataku
pada diri sendiri. Ditengah-tengah menikmati ketenangan pagi terdengar suara
pintu dari kamar indo1. Indo
yang berusia 80-an kini tak sekuat dulu. Tubuh yang termakan usia membuatnya
kriput serta tulang yang kurang mampu
menopang semangatnya. Namun, semangatnya selalu seperti diriku. Perlahan-lahan
ia menghampiriku. Duduk di dikursi bambu tempat favorit indo. Katanya kursi bambu itu dibuat oleh ambo2 jadi setiap duduk dikursi itu indo selalu mengingat
almarhum ambo. Ada satu hal yang
membuatku salut terhadap pasangan tua ini. Mereka selalu setia hingga ajal
menjemput ambo. Semarah apapun indo kepada ambo atau sebaliknya tak pernah satu kalipun terdengar kata pisah
antara mereka. Beda halnya dengan sekarang begitu mudahnya orang mengatakan cerai.
Bahkan di media diacara realitishow
selalu saja terdengar kata cerai dari para artis-artis tanah air. Seakan-akan
ini telah menjadi budaya.
Pandangan indo tertuju padaku seolah-olah dia paham dengan apa yang
kupikirkan pada saat itu.
“apa yang sedang kamu pikirkan nak?”
“tidak nek, sebenarnya aku mau bertanya”
“bertanya apa nak?”
“mengapa maha gadis Bugis-Makassar sangat mahal?
“emangnya kenapa nak kamu bertanya demikian atau
kamu udah mau menikah?” ia melirik padaku sambil tersenyum dan hal ini
membuatku malu didepannya tapi mitos mahar gadis bugis-makassar begitu tersebar
luas hingga beberapa waktu lalu salah satu teman dari jawa menanyakan “mengapa
mahar gadis bugis-makassar begitu mahal?” aku hanya bisa menjawab “mungkin itu
salah satu budaya siri’3,
dimana setiap keluarga yang memiliki anak gadis akan merasa malu ketika anaknya
diberikan mahar murah”. Namun itu hanya pendapat pribadiku dan aku sendiri
masih kabur dengan budaya tersebut. Hal ini pun menjadi perbincanganku bersama indo. Indo yang pada saat itu sedang mangico4
kembali bertanya padaku
“kenapa kamu menanyakan mahar gadis Bugis-Makassar?”
“Aku cuman ingin tahu nek, karena banyak orang yang
menanyakan mengapa mahar gadis bugis-makassar begitu mahal? ada juga orang yang
beranggapan bahwa mahar gadis Bugis-Makassar itu seperti barang yang diperjualbelikan”
indo tersenyum mendengar
penjelasanku.
“emm betul juga budaya ini akan menjadi ambigu bagi
orang yang tidak paham. kalau dilihat sekilas emang sama dengan barang yang
diperjualbelikan. tapi sebenarnya bukan itu maksudnya”. sambil membakar ico5
“jadi maksudnya apa nek?” aku semakin penasaran
“ya sebenarnya dahulu itu pada zaman penjajahan
gadis-gadis Bugis-Makassar sangat terhina oleh para tentara belanda.” menghisap
ico ditangannya.
“terhina bagaimana indo” ku memotong penjelasan indo.
“aduh izinkan nenek bicara dulu dan jangan dipotong
karena nenek bisa lupa apa yang nenek ingin katakan” indo menegurku karena aku terlalu semangat.
“iya nek maaf, aku tidak ada maksud”
“masih ingin dengar cerita nenek?”
“iya nek” ku anggukkan kepalaku bertanda setuju.
“udah sampai dimana cerita kita? aduh aku lupa
kamunya sih ngajak nenek bicara, jadi kepotong ceritanya” Menepuk pahanya itu
salah satu kebiasaan indo ketika melupakan sesuatu. Maklumlah sudah berumur.
“nek tadi ceritanya sampai di gadis Bugis-Makasssar
pada zaman penjajahan”
“oh iya pada zaman dahulu itu gadis bugis sangat
dihina dan para gadis ini tidak memiliki hak apapun terhadap dirinya sendiri.
jadi setiap gadis pada saat itu harus merelakan dirinya untuk dinikahi oleh
tentara belanda tanpa mahar sedikit pun. yang jadi masalah disini yaitu ketika
telah dinikahi dan tentara itu melihat ada yang lebih baik dari istrinya maka
ia akan beralih kewanita lain tanpa menghiraukan istri pertamanya. disinilah
letak ketidak adilan.”
“jadi bagaimana kondisi gadis pada zaman itu nek?”
“nah pada saat itu kewenangan semua ada di tangan
tentara belanda, sangat menyedihkan karena orang tua gadis-gadis pada saat itu
hanya bisa melihat anaknya diperlakukan semena-mena mereka tidak bisa membela
hak anaknya. jadi si gadis ini hanya pasrah dengan keadaan.”
“kasihan, jadi kapan mahar gadis Bugis-Makassar
menjadi sesuatu yang mahal?”
“nah pada saat menjelang kemerdekaan tentara belanda
meninggalkan kampung Bugis-Makassar karena berhasil diusir oleh para
pemberontak. tapi kepergian belanda bukan berarti menghilangkan semua jejaknya
masih ada ajaran-ajaran atau doktrin yang mereka tanamkan yaitu salah satunya
tentang kebebasan untuk menikahi siapa saja dan berhak meninggalkan begitu
saja. paham inilah yang masih dianut para lelaki di kampung Bugis-Makassar.
“apa maksudnya nek dengan ajaran tersebut?”.
“jadi doktrin belanda yang ditanamkan pada jiwa
pemuda pada saat itu yakni seorang lelaki bisa berganti-ganti wanita sesuai
keinginannya”.
“emm jadi setelah belanda meninggalkan kampung
Bugis-Makassar, para gadis tetap saja masih belum memiliki kebebasan?”
“iya nak, nah dari permasalahan inilah ada seorang
bangsawan memiliki seorang anak gadis yang begitu iya sayangi dan ia tidak
ingin melihat anak gadisnya diperlakukan semena-mena oleh para pemuda yang
jiwanya telah terdotrin oleh belanda. suatu ketika ada seorang pemuda yang
terpikat melihat gadis bangsawan ini, ia pun memberanikan diri untuk melamar
dengan menggunakan doktrin belanda yaitu tidak menggunakan mahar. Namun orangtua
si gadis bangsawaan ini tidak menerimanya karena hal yang ia lakukan merupakan
sebuah pelecehan terhadap perempuan. Tidak ada sedikit pun bukti fisik
keseriusan sang pemuda itu untuk menikahi sang gadis bangsawan. Jadi pada saat
itu orangtua si gadis ini mengisyaratkan kepada sang pemuda kalau ia ingin
menikahi anak gadisnya dia harus menyediakan mahar yang telah ditentukannya.
mahar yang diajukan sangatlah berat sang pemuda harus menyediakan material
maupun non material. hal ini dilakukannya untuk menganggat derajat kaum wanita
pada saat itu. Pergilah sang pemuda itu mencari persyaratan yang diajukan oleh
orangtua si gadis. Bertahun-tahun merantau mencari mahar demi pujaan hatinya ia
rela melakukan apa saja asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan
tabungan untuk meminang gadis pujaannya. setelah mencukupi persyaratan yang
diajukan oleh orang tua si gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis
pujaannya dan pada saat itu melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si
gadis merelakan anaknya menjadi milik sang pemuda tersebut”.
“nek apakah sang pemuda itu tidak merasa bahwa hasil
kerja kerasnya hanya dihabiskan untuk menikah ataukah tidak ada kata menyesal
pada dirinya?”.
“tidak nak, dalam hati sang pemuda itu tidak pernah
mengatakan menyesal bahkan iya sangat berterima kasih pada orangtua si gadis.
Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah pelajaran yakni
menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal untuk disakiti. apalagi
sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari hasil jeri payahnya sendiri itulah
sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya”.
“oh jadi mahalnya mahar gadis Bugis-Makassar bukan
seperti barang yang diperjual belikan, tapi sebagai bentuk penghargaan kepada
sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan menikah lagi maka
sang pemuda akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya karena begitu
sulitnya ia mendapatkan si gadis ini”. itu pernyataanku kepada indo. ia pun beranjak bangun dari kursi
bambu berjalan keluar setiba dipintu ia membalikkan wajahnya kepadaku
“gimana, kamu sudah paham akan budaya mahar gadis
Bugis-Makassar? jadi kamu tidak perlu lagi khawatir akan mahar, jika ada pemuda
yang ingin meminangmu persilahkan saja datang kerumah dan katakan padanya
jangan takut dengan budaya mahar orang Bugis-Makassar karena ia akan
mendapatkan hal yang setimpal dengan apa yang ia keluarkan”.
Berbalik dan membuka pintu. Dari pembicaran tadi ada
hal yang menurutku sebuah pelajaran hidup dimana budaya mahar gadis Bugis-Makassar
yang mahal ternyata memiliki makna. Bukan berarti bahwa gadis Bugis-Makassar
dijadikan sebuah barang yang diperjual belikan dengan uang. Tapi, dengan adanya
mahar yang besar akan membuat si calon suami betul-betul memikirkan
sematang-matang mungkin untuk menikah dan ketika telah menikah tak ada kata
pisah atau cerai karena meminang gadis bugis-makassar butuh pengorbanan yang
banyak. Akan sangat merasa rugi ketika akan dilepas begitu saja.
percakapan pagi itu sangat bermakna
bagiku sejarah budaya mahar gadis Bugis-Makassar menjadi sebuah alat untuk
mempertahankan derajat kaum hawa dalam dunia percintaan. Walaupun banyak
pemaham luar yang mengatakan gadis Bugis-Makassar nantinya banyak yang akan
menjadi perawan tua jika budaya itu tetap diberlakukan. Namun, ketika makna
dari budaya ini dipahami aku yakin budaya cerai-nikah yang sekarang menjamur
akan terkikis.
Catatan kaki
1.
indo merupakan sebutan
nenek dalam bahasa Bugis-Makassar.
2.
ambo merupakan sebutan
kakek dalam bahasa Bugis-Makassar.
3.
siri merupakan sebuah
budaya malu Bugis-Makassar, selalu ingin yang terbaik dari yang lain.
4.
mangico merupakan
kegiatan menghisap tembakau kretek yang di buat khusus secara tradisional,
mangico biasanya dilakukan oleh orang tua yanglanjut usia baik perempuan maupun
laki-laki.
5.
rokok tembakau
tradisional
Senin, 08 Oktober 2012
apakah rumah itu tempat berteduh, tempat pemberi kehangatan, atau tempat pelindung?.
Itu tergantung dari pemaknaan individu.
Mengapa dalam bahasa inggris go home di artikan pulang?. Ada yang paham dengan ini?
kalau di diartika secara terpisah go artinya pergi sedangkan home artinya rumah jadi go home artinya pergi ke rumah. Padahal dalam arti sebenarnya go home diartikan pulang. Hal ini pernah ku tanyakan pada guru bahasa inggrisku waktu masih duduk di bangku Madrasah Aliah. pertayaanku singkat "pak," sambil mengajukan tangan "mengapa ada kata home?". Ia mendekatiku sambil tersenyum dan berbalik bertanya padaku. "sri kalau berpergian jauh pulangnya kemana?. Ku jawab "ke rumah" dengan spontan. aku masih bingung pada saat itu. ku kerutkan keningku sambil mepluntir-pluntirkan ujung jilbabku. Lagi-lagi ia bertanya padaku "sri, di rumah biasanya ada siapa?". "mama, papa,nenek, sepupu, emm...". "intinya ada keluargakan" ia memotong ucapanku". "ia" jawabku. dalam hati, ku berkata "apa sih artinya ini".
ia bertanya padaku dan pertanyaan itu makin membuatku berfikir "sri pernah menagis, gembira,atau jengkel mungkin?". "ia pak" dengan polosku menjawab. "kalau menangis, atau merasa kesulitan biasanya lari kemana"?. "biasanya sih ujung-ujungnya lari ke mama atau bapak". sambil mengangguk-anggukkan kepalanya "emm apa yang kau dapatkan saat itu?". "ya sebuah penyelasaian masalah, kalau lagi sedih, ada yang memberiku belaian, memberiku uang kalau lagi kere,". "dan itu biasanya didapat dirumah kan?" sambil melirik kearahku. dan lagi-lagi aku menjawab " ia pak". "dah mengerti sri?". "emm iya pak" menganggukkan kepalaku. "jadi pulang itu selalu identik dengan rumah, karena di rumah kita mendapatkan kehangatan, rumah selalu memberikan kenyamanan, di rumah ada orang-orang yang kita sayangi, rumah adalah pelepas rindu." beranjak dari tempat duduk ambil tersenyum dan menjauh dariku.
Kamis, 26 Juli 2012
kursi panjang berjejeran di sudut ruangan
sorak-sorak suara senduh memanggil
memanggil satu nama
nama itu telah terukir dihati sejak raga ini duduk menantikanmu
sorak-sorak suara senduh memanggil
memanggil satu nama
nama itu telah terukir dihati sejak raga ini duduk menantikanmu
Minggu, 03 Juni 2012
angin berhembus mesrah
menyapa sang hijau di pagi kabut
titik-titik embun yang jatuh dari setiap helainya
menerpa tanah yang selalu setia sabar untuk menopangnya
kuberdiri tegak di dataran sabar ini
memandang sejauh mata yang dapat ku rekam
ku terus meneropong melihat tiap-tiap yang ada di hadapanku
mencari dan terus mencari
sosok yang dulu mengisi retak-retak
sosok membuatku seperti bunga mawar
sosok menyadarkanku akan kesempurnaan hidup
sosok yang membuatku seperti baja
namun kabut telah menyelimutinya
membuatnya tidak terekam oleh lensa hatiku
menyelimutinya dan terus menyelimutinya
hingga dia menyatu dengan kabut
ku pejamkan mata ini
mencoba menyentuhnya, merasakan dengan hati
berharap ketika mata ini terbuka
kembali ku dapat melihatnya.
namun
ketika mata ini terbuka
sosok itu telah pergi
pergi,pergi dan pergi entah kemana
tubuh ini serasa tak di topang lagi oleh tulang yang setia
tubuh ini terkapar diatas kasur pasir
yang setiap butirannya seperti magnet
menempel di pipiku
mulut seakan terkunci
dan ku tak tahu apa password-nya
hanya hati yang dapat berbicara
ia berteriak namun tak dapat terdengar
ia berkata KEMBALILAH
menyapa sang hijau di pagi kabut
titik-titik embun yang jatuh dari setiap helainya
menerpa tanah yang selalu setia sabar untuk menopangnya
kuberdiri tegak di dataran sabar ini
memandang sejauh mata yang dapat ku rekam
ku terus meneropong melihat tiap-tiap yang ada di hadapanku
mencari dan terus mencari
sosok yang dulu mengisi retak-retak
sosok membuatku seperti bunga mawar
sosok menyadarkanku akan kesempurnaan hidup
sosok yang membuatku seperti baja
namun kabut telah menyelimutinya
membuatnya tidak terekam oleh lensa hatiku
menyelimutinya dan terus menyelimutinya
hingga dia menyatu dengan kabut
ku pejamkan mata ini
mencoba menyentuhnya, merasakan dengan hati
berharap ketika mata ini terbuka
kembali ku dapat melihatnya.
namun
ketika mata ini terbuka
sosok itu telah pergi
pergi,pergi dan pergi entah kemana
tubuh ini serasa tak di topang lagi oleh tulang yang setia
tubuh ini terkapar diatas kasur pasir
yang setiap butirannya seperti magnet
menempel di pipiku
mulut seakan terkunci
dan ku tak tahu apa password-nya
hanya hati yang dapat berbicara
ia berteriak namun tak dapat terdengar
ia berkata KEMBALILAH
Langganan:
Postingan (Atom)