Sabtu, 27 Juli 2013

Indo

Ramadhan ini sedikit berbeda dari tahun lalu. perbedaannya sangat jelas. Bahkan ketika ku mengenangnya tak mampuku menahan air mataku. ia kan mengalir lagi, lagi dan lagi hingga membawaku tertidur dalam genangannya. Gerobak itu, kamar, dapur, baju, rumah, pasar, bukit. semuanya, begitu sesak tak tertahankan. Kamar itu ketika kami bercerita tentang pengalaman rantau kami yang penjang sedikit menyita masa kecil kami. Lalu kau berkata "asekolah ko na' bare muruntui decceng'nge". 

Masih ingatkah di waktu mentari mulai melemahkan cahayanya. kau datang dari balik tirai dengan karung putih di tangan kananmu. Menghampiriku dengan senyuman indahmu. Mengeluarkan belanjaan dari karung bawaanmu. Mengeluarkannya satu persatu hingga kau berkata "enggka ce'e uwelliang ko" menunjukan subuah baju kuning dengan hiasan putih yang horisontal. ku memakainya dan itu sangat indah. kau begitu senang melihatku memakainya. Apalagi itu adalah hasil dari daganganmu. 

Mata ini begitu berat memandang pasar itu. Tempat yang menjadi kegiatan tawar-menawar dengan pembelimu. Kau begitu mahir dalam mempertahankan harga daganganmu. Bahkan kau tak membiaran aku untuk membantumu berjualan. Kau hanya menyuruhku untuk tetap di rumah menunggumu kembali dengan beberapa belanjaanmu.

Ringkih terkadang membuatmu merasa kesepian. Menemui bukit itu menjadi penawar bagimu. Kami pun terkadang kelikungan ketika mentari telah menepih namun kau belum saja berada disini. Hati bergetar mengerumuh, mengelegar ketakutan saat ku tak menemukanmu.

hati ini semakin mengelegar ketakutan saat melihat dirimu terbaring lemah. Sering kali memanggil namaku. Ku katakan "iye ingka ka'e ricedde'ta" memegang tanganmu mengusap rambutmu yang semakin hari semakin rontok. Tubuhmu begitu kurus bahkan kulitmu melengket ketat ditulang-tulangmu. Saat kalimat pamitanku terdengar kau memegang tanganku, menatapku dengan pandangan sedih. bibirmu bergerak cepat seakan ingin mengatakan sebuah kalimat. Namun yang ku dengar suara desahan, ku katakan "cinamppe ma". Tersenyum ku melepaskan tangannya. Impianlah yang membuatku harus meninggalkanmu.
 
Kini kau telah menutup mata dan tak terbangunkan lagi oleh kami.
Tak ada lagi yang membangunkan kami untuk sahur.
Tak ada lagi bunyi gerobak yang menggeletup-geletup.
Tak ada lagi senyum sambutanmu dikala kami datang.
Tak ada lagi sejadah kosong di mesjid yang sering kali kau sediakan jika kami terlambat datang karena harus memutar-mutarkan jilbab agar kelihatan tren oleh tetangga.

Jasadmu memang tiada tapi kau selalu di hati kami "INDO"