Ku buka pintu disaat fajar
manjelma. Kicauan merdu burung yang hinggap di ranting pohon halaman rumahku. Melantunkan
nada-nada hingga terangkai menjadi sebuah alunan musik yang begitu elok
terdengar diteliga. Embun pagi yang menyapa dedaunan kini akan pergi bersama cahaya mentari.
Meninggalkan aroma sejuk di pagi hari. Cahaya mentari begitu ramah menyapa
hingga rela menembus rimbunan dedaun pohon dihadapan rumahku.
“Pagi yang cerah untuk jiwa yang tenang”. Kataku
pada diri sendiri. Ditengah-tengah menikmati ketenangan pagi terdengar suara
pintu dari kamar indo1. Indo
yang berusia 80-an kini tak sekuat dulu. Tubuh yang termakan usia membuatnya
kriput serta tulang yang kurang mampu
menopang semangatnya. Namun, semangatnya selalu seperti diriku. Perlahan-lahan
ia menghampiriku. Duduk di dikursi bambu tempat favorit indo. Katanya kursi bambu itu dibuat oleh ambo2 jadi setiap duduk dikursi itu indo selalu mengingat
almarhum ambo. Ada satu hal yang
membuatku salut terhadap pasangan tua ini. Mereka selalu setia hingga ajal
menjemput ambo. Semarah apapun indo kepada ambo atau sebaliknya tak pernah satu kalipun terdengar kata pisah
antara mereka. Beda halnya dengan sekarang begitu mudahnya orang mengatakan cerai.
Bahkan di media diacara realitishow
selalu saja terdengar kata cerai dari para artis-artis tanah air. Seakan-akan
ini telah menjadi budaya.
Pandangan indo tertuju padaku seolah-olah dia paham dengan apa yang
kupikirkan pada saat itu.
“apa yang sedang kamu pikirkan nak?”
“tidak nek, sebenarnya aku mau bertanya”
“bertanya apa nak?”
“mengapa maha gadis Bugis-Makassar sangat mahal?
“emangnya kenapa nak kamu bertanya demikian atau
kamu udah mau menikah?” ia melirik padaku sambil tersenyum dan hal ini
membuatku malu didepannya tapi mitos mahar gadis bugis-makassar begitu tersebar
luas hingga beberapa waktu lalu salah satu teman dari jawa menanyakan “mengapa
mahar gadis bugis-makassar begitu mahal?” aku hanya bisa menjawab “mungkin itu
salah satu budaya siri’3,
dimana setiap keluarga yang memiliki anak gadis akan merasa malu ketika anaknya
diberikan mahar murah”. Namun itu hanya pendapat pribadiku dan aku sendiri
masih kabur dengan budaya tersebut. Hal ini pun menjadi perbincanganku bersama indo. Indo yang pada saat itu sedang mangico4
kembali bertanya padaku
“kenapa kamu menanyakan mahar gadis Bugis-Makassar?”
“Aku cuman ingin tahu nek, karena banyak orang yang
menanyakan mengapa mahar gadis bugis-makassar begitu mahal? ada juga orang yang
beranggapan bahwa mahar gadis Bugis-Makassar itu seperti barang yang diperjualbelikan”
indo tersenyum mendengar
penjelasanku.
“emm betul juga budaya ini akan menjadi ambigu bagi
orang yang tidak paham. kalau dilihat sekilas emang sama dengan barang yang
diperjualbelikan. tapi sebenarnya bukan itu maksudnya”. sambil membakar ico5
“jadi maksudnya apa nek?” aku semakin penasaran
“ya sebenarnya dahulu itu pada zaman penjajahan
gadis-gadis Bugis-Makassar sangat terhina oleh para tentara belanda.” menghisap
ico ditangannya.
“terhina bagaimana indo” ku memotong penjelasan indo.
“aduh izinkan nenek bicara dulu dan jangan dipotong
karena nenek bisa lupa apa yang nenek ingin katakan” indo menegurku karena aku terlalu semangat.
“iya nek maaf, aku tidak ada maksud”
“masih ingin dengar cerita nenek?”
“iya nek” ku anggukkan kepalaku bertanda setuju.
“udah sampai dimana cerita kita? aduh aku lupa
kamunya sih ngajak nenek bicara, jadi kepotong ceritanya” Menepuk pahanya itu
salah satu kebiasaan indo ketika melupakan sesuatu. Maklumlah sudah berumur.
“nek tadi ceritanya sampai di gadis Bugis-Makasssar
pada zaman penjajahan”
“oh iya pada zaman dahulu itu gadis bugis sangat
dihina dan para gadis ini tidak memiliki hak apapun terhadap dirinya sendiri.
jadi setiap gadis pada saat itu harus merelakan dirinya untuk dinikahi oleh
tentara belanda tanpa mahar sedikit pun. yang jadi masalah disini yaitu ketika
telah dinikahi dan tentara itu melihat ada yang lebih baik dari istrinya maka
ia akan beralih kewanita lain tanpa menghiraukan istri pertamanya. disinilah
letak ketidak adilan.”
“jadi bagaimana kondisi gadis pada zaman itu nek?”
“nah pada saat itu kewenangan semua ada di tangan
tentara belanda, sangat menyedihkan karena orang tua gadis-gadis pada saat itu
hanya bisa melihat anaknya diperlakukan semena-mena mereka tidak bisa membela
hak anaknya. jadi si gadis ini hanya pasrah dengan keadaan.”
“kasihan, jadi kapan mahar gadis Bugis-Makassar
menjadi sesuatu yang mahal?”
“nah pada saat menjelang kemerdekaan tentara belanda
meninggalkan kampung Bugis-Makassar karena berhasil diusir oleh para
pemberontak. tapi kepergian belanda bukan berarti menghilangkan semua jejaknya
masih ada ajaran-ajaran atau doktrin yang mereka tanamkan yaitu salah satunya
tentang kebebasan untuk menikahi siapa saja dan berhak meninggalkan begitu
saja. paham inilah yang masih dianut para lelaki di kampung Bugis-Makassar.
“apa maksudnya nek dengan ajaran tersebut?”.
“jadi doktrin belanda yang ditanamkan pada jiwa
pemuda pada saat itu yakni seorang lelaki bisa berganti-ganti wanita sesuai
keinginannya”.
“emm jadi setelah belanda meninggalkan kampung
Bugis-Makassar, para gadis tetap saja masih belum memiliki kebebasan?”
“iya nak, nah dari permasalahan inilah ada seorang
bangsawan memiliki seorang anak gadis yang begitu iya sayangi dan ia tidak
ingin melihat anak gadisnya diperlakukan semena-mena oleh para pemuda yang
jiwanya telah terdotrin oleh belanda. suatu ketika ada seorang pemuda yang
terpikat melihat gadis bangsawan ini, ia pun memberanikan diri untuk melamar
dengan menggunakan doktrin belanda yaitu tidak menggunakan mahar. Namun orangtua
si gadis bangsawaan ini tidak menerimanya karena hal yang ia lakukan merupakan
sebuah pelecehan terhadap perempuan. Tidak ada sedikit pun bukti fisik
keseriusan sang pemuda itu untuk menikahi sang gadis bangsawan. Jadi pada saat
itu orangtua si gadis ini mengisyaratkan kepada sang pemuda kalau ia ingin
menikahi anak gadisnya dia harus menyediakan mahar yang telah ditentukannya.
mahar yang diajukan sangatlah berat sang pemuda harus menyediakan material
maupun non material. hal ini dilakukannya untuk menganggat derajat kaum wanita
pada saat itu. Pergilah sang pemuda itu mencari persyaratan yang diajukan oleh
orangtua si gadis. Bertahun-tahun merantau mencari mahar demi pujaan hatinya ia
rela melakukan apa saja asalkan apa yang dilakukannya dapat menghasilkan
tabungan untuk meminang gadis pujaannya. setelah mencukupi persyaratan yang
diajukan oleh orang tua si gadis sang pemuda pun kembali meminang gadis
pujaannya dan pada saat itu melihat kesungguhan hati sang pemuda orangtua si
gadis merelakan anaknya menjadi milik sang pemuda tersebut”.
“nek apakah sang pemuda itu tidak merasa bahwa hasil
kerja kerasnya hanya dihabiskan untuk menikah ataukah tidak ada kata menyesal
pada dirinya?”.
“tidak nak, dalam hati sang pemuda itu tidak pernah
mengatakan menyesal bahkan iya sangat berterima kasih pada orangtua si gadis.
Adanya persyaratan yang diajukan memeberikannya sebuah pelajaran yakni
menghargai wanita karena wanita memang sangat mahal untuk disakiti. apalagi
sang pemuda itu mendapatkan istrinya dari hasil jeri payahnya sendiri itulah
sebabnya ia begitu menyanyangi istrinya”.
“oh jadi mahalnya mahar gadis Bugis-Makassar bukan
seperti barang yang diperjual belikan, tapi sebagai bentuk penghargaan kepada
sang wanita, jadi ketika tersirat dihati ingin bercerai dan menikah lagi maka
sang pemuda akan berpikir berkali-kali untuk melakukannya karena begitu
sulitnya ia mendapatkan si gadis ini”. itu pernyataanku kepada indo. ia pun beranjak bangun dari kursi
bambu berjalan keluar setiba dipintu ia membalikkan wajahnya kepadaku
“gimana, kamu sudah paham akan budaya mahar gadis
Bugis-Makassar? jadi kamu tidak perlu lagi khawatir akan mahar, jika ada pemuda
yang ingin meminangmu persilahkan saja datang kerumah dan katakan padanya
jangan takut dengan budaya mahar orang Bugis-Makassar karena ia akan
mendapatkan hal yang setimpal dengan apa yang ia keluarkan”.
Berbalik dan membuka pintu. Dari pembicaran tadi ada
hal yang menurutku sebuah pelajaran hidup dimana budaya mahar gadis Bugis-Makassar
yang mahal ternyata memiliki makna. Bukan berarti bahwa gadis Bugis-Makassar
dijadikan sebuah barang yang diperjual belikan dengan uang. Tapi, dengan adanya
mahar yang besar akan membuat si calon suami betul-betul memikirkan
sematang-matang mungkin untuk menikah dan ketika telah menikah tak ada kata
pisah atau cerai karena meminang gadis bugis-makassar butuh pengorbanan yang
banyak. Akan sangat merasa rugi ketika akan dilepas begitu saja.
percakapan pagi itu sangat bermakna
bagiku sejarah budaya mahar gadis Bugis-Makassar menjadi sebuah alat untuk
mempertahankan derajat kaum hawa dalam dunia percintaan. Walaupun banyak
pemaham luar yang mengatakan gadis Bugis-Makassar nantinya banyak yang akan
menjadi perawan tua jika budaya itu tetap diberlakukan. Namun, ketika makna
dari budaya ini dipahami aku yakin budaya cerai-nikah yang sekarang menjamur
akan terkikis.
Catatan kaki
1.
indo merupakan sebutan
nenek dalam bahasa Bugis-Makassar.
2.
ambo merupakan sebutan
kakek dalam bahasa Bugis-Makassar.
3.
siri merupakan sebuah
budaya malu Bugis-Makassar, selalu ingin yang terbaik dari yang lain.
4.
mangico merupakan
kegiatan menghisap tembakau kretek yang di buat khusus secara tradisional,
mangico biasanya dilakukan oleh orang tua yanglanjut usia baik perempuan maupun
laki-laki.
5.
rokok tembakau
tradisional
7 komentar:
Pasang Harga untuk anak perempuan makin membudaya
Anak gadis perempuan di "jual" layaknya ikan proses tawar menawar
Merasa "hina" kalau anaknya diberi "uang panai" rendah
Si laki2 rela meminjam uang demi memenuhi permintaan "uang panai"
Pernikahan di tunda-tunda akibat belum cukup "uang panai"
Muncul pemahaman pragmatis
Banyak yang jatuh miskin setelah menikah
Tingkat strees bagi kaum laki-laki meningkat
Muncul paham "anti sosial "wanita bugis itu mahal, tdk usah dekat sama mereka"
Muncul istilah "Istri Kreditan", sebab laki2 harus menggadaikan SK. Sertifikat Tanah dll ke bank untuk mendapatkan "uang panai"
Hal ini yang takkala penting : MAKIN HARI MAKIN BANYAK BUJANG beredar
Uang panai’ hanyalah budaya dan kebiasaan masyarakat terkhusus di Sulawesi Selatan yang sungguh tak mempengaruhi sedikit pun sah atau tidaknya sebuah pernikahan.
Jangan sampai gara-gara harga sembako yang terus naik maka uang panai’ juga makin melambung tinggi dan berharap pada calon pemimpin yang akna datang untuk selain memberi Kesehatan dan Pendidikan Gratis kepada masyarakat tapi alangkah baiknya kalau membuat Program Uang Panai’ Gratiss. Hehehehehehe….
Anak Bugis
bagi laki laki yg tkut miskin gara" uang panai..
gak usah ngelamar gadis bugis makassar
banyak kok gadis dari suku lain
tp kbanyakan dari kaum laki laki jg gengsi ngelamar gadis di luar suku bugis makassar..jd gak usah banyak neko neko
uang panai adalah simbol kemapanan seorang pria di suku bugis makasaar dan uang panai dari sisi wanita adalah simbol penghargaan dan simbol kehormatan buak uang sebagai mana kita mebeli jadi uang panai bukan uang untuk membeli wanita
meskipun penetapan 'Uang Panai" ini memiliki sejarah sebagai bentuk menjaga kehormatan wanita, sehingga menjadi suatu adat akan suku qt "Bugis-Makassar" namun kita pun mesti mensikronisasikannya dengan syari'at ISlam yang juga menjadi Agama di daerah kita yang sudah di resmikan oleh Kerajaan Gowa-Tallo. krn adat bisa jdi hukum tatkala tidak bertentangan dengan syari'at. "Al 'Adatu Muhakkamah"
Saya setuju dengan adanya Uang Panai. Namun rendahnya jumlah uang panai bukan berarti kehormatan perempuan yang dilamar itu juga rendah. Jadi bagi saya Uang Panai bukan tolok ukur yang pasti atas kehormatan seorang perempuan.
budaya matre, makanya banyak wanita sulsel jd perawan tua. Budaya yg memberatkan harusnya tidak dilakukan lagi, krn untuk yg beragama Islam menikah itu harus dipermudah. Tp ada temen saa yg beruntung sekali krn orang tuanya dia pikirannya terbuka sehingga gak pake panai2an lagi, yg penting nikah krn ridho Allah
budaya matre itu bukan dari sejarah perlakuan org belanda,tapi budaya lelaki makasar itu sendiri yg suka poligami,bhkan bbrpa istri2nya ditinggalkan bgitu saja,kenapa mengkambinghitamkan org belanda? kalo terjadi di jaman belanda,tentu uang panai itu sdh dihapuskan skrg,krn belanda kan sdh gak jajah lagi disini,trus apa semua org langsung dianggap jadi belanda juga?Jadi,uang panai itu bisa dikatakn sbgai deposit yg menunjukan bhw si pria mampu memberikan jaminan hidup bagi si wanita bugis yg dinikahinya. omong kosong kalo utk menghargai.kalo adat bugis itu mau harga menghargai,toh semua suku punya harga,gak fair kan kalo lelaki bugis gak ngasih uang panai kalo nikahin org dari suku lain? itu namanya mau cubit gak mau dicubit. mustinya lelaki bugis harus bayar panai 2x lipat kalo ingin menikahi suku2 lain,itu baru adil.
Posting Komentar